Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 lalu memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara.
PISA merupakan survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah. Penilaian ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yaitu literasi, matematika, dan sains. Hasil pada tahun 2018 mengukur kemampuan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara.
Beberapa waktu lalu The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perolehan peringkat Indonesia tidak memuaskan.
Menurut data yang diterbitkan OECD dari periode survei 2009-2015, Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Dari ketiga kategori kompetensi, skor Indonesia selalu berada di bawah rata-rata. Penyebab utama Indonesia selalu mendapat peringkat rendah adalah kurikulum Pendidikan yang diterapkan.
Survei 2018 itu lagi-lagi menempatkan siswa Indonesia di jajaran nilai terendah terhadap pengukuran membaca, matematika, dan sains. Pada kategori kemampuan membaca, Indonesia menempati peringkat ke-6 dari bawah (74) dengan skor rata-rata 371. Turun dari peringkat 64 pada tahun 2015.
Lalu pada kategori matematika, Indonesia berada di peringkat ke-7 dari bawah (73) dengan skor rata-rata 379. Turun dari peringkat 63 pada tahun 2015. Sementara pada kategori kinerja sains, Indonesia berada di peringkat ke-9 dari bawah (71), yakni dengan rata-rata skor 396. Turun dari peringkat 62 pada tahun 2015.
Survei ini menempatkan Cina dan Singapura di posisi dua negara teratas. Cina memiliki skor 555, sementara Singapura 549 untuk skor kemampuan memahami bacaan dalam berbagai tingkat kesulitan. Kedua negara ini masing-masing mencapai nilai 591 dan 569 untuk kemampuan matematika siswanya, serta 590 dan 551 untuk nilai sains. "Rata-rata skor dunia untuk literasi adalah 487, matematika 489, dan sains 498," demikian tulis laporan tersebut.
Jika dibandingkan, kemampuan literasi, matematika, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia. Seperti diberitakan oleh Antara, Indonesia sudah berpartisipasi dalam penilaian ini selama 18 tahun, sejak tahun 2000. Namun selama itu pula nilai kemampuan siswa tak pernah berada di atas rata-rata.
Pada tahun 2000, saat PISA masih diisi oleh 41 negara, Indonesia mendapat peringkat 39 untuk kemampuan membaca dan matematika, sedang kemampuan sains berada di urutan 38. Pada tahun 2003, kemampuan membaca siswa kita sempat naik di urutan 29, sementara matematika dan sains tetap berada di peringkat 38.
Tiga periode survei terakhir yakni di tahun 2009 ketika PISA diikuti 65 negara, kompetensi membaca siswa di Indonesia berada di peringkat 57, matematika 61, dan sains 60. Kemudian pada tahun 2012, peringkat tersebut kembali merosot ke angka 61 di bidang literasi, serta peringkat 65 untuk matematika dan sains.
Tahun 2015, jumlah negara yang mengikuti PISA naik menjadi 72, tapi kemampuan literasi Indonesia ada di urutan 66, matematika 65, dan sains 64. Artinya selama delapan belas tahun, kemampuan siswa di Indonesia dalam memahami bacaan, menghitung, atau berpikir secara ilmiah tak banyak berubah.
Lalu, apa yang salah dari sistem pendidikan kita?
Tahun 2018 Soal ujian nasional (UN) di Indonesia mulai memakai Higher Order Thinking Skills (HOTS), sebuah turunan metode belajar yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom lewat teori “Taksonomi Bloom”. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy khawatir skor PISA Indonesia semakin merosot jika tidak melakukan adaptasi.
Selama ini soal-soal ujian di Indonesia, katanya, memiliki tingkat kesulitan di bawah PISA—yang sudah berbasis HOTS. Hal tersebut dikarenakan negara-negara pendiri OECD (organisasi yang mengadakan PISA) telah menerapkan sistem taksonomi Bloom dalam sistem pendidikan mereka. Sementara kurikulum di Indonesia sama sekali tidak menerapkan sistem tersebut, kecuali untuk ujian nasional.
Pantas saja saat ujian sistem HOTS diberlakukan (2018-2019), para siswa di Indonesia mengeluh tak bisa mengerjakan soal. Mereka menganggap materinya terlalu sulit dan belum pernah diajarkan di sekolah. Tapi Muhadjir berdalih sistem HOTS sudah diajarkan kepada siswa lewat latihan soal sebelum ujian. Anak-anak itu dipaksa memahami sistem baru—yang selama ini tidak dipelajari—secara instan.
Selama ini Indonesia sudah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali. Kurikulum pertama pada tahun 1947 dinamakan Rencana Pelajaran, Tahun 1964 masuk kurikulum Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, Kurikulum Sekolah Dasar di tahun 1968, lanjut Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan 1973.
Di tahun 1975 Indonesia memasuki Kurikulum Sekolah Dasar, kemudian berganti menjadi Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Revisi Kurikulum 1994 di tahun 1997, Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di tahum 2004. Lalu dua tahun kemudian (2006) beralih ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan terakhir Kurikulum 2013.
Penerapan Kurikulum 2013 sempat berhenti sementara di era Mendikbud Anies Baswedan. Dengan alasan masih banyak seolah belum siap menghadapi K-13, maka KTSP 2006 kembali digunakan. Padahal beberapa sekolah sudah menjalankan K-13 selama setengah tahun. Buku-buku kurikulum pun sudah kadung didistribusikan.
Dari sekian banyak metode belajar, tak satupun yang menganut sistem HOTS. Indonesia masih menggunakan metode tipe Lower-Medium Order Thinking. Fakta ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara menyeluruh. PISA adalah tolak ukur kegagalan uji coba pendidikan Indonesia yang selalu berganti setiap ada perubahan menteri.
Tahun 1956, Benjamin Bloom bersama beberapa kawannya merumuskan kerangka kemampuan berpikir bernama Taksonomi Bloom. Ide ini adalah buah respons kegelisahan Bloom terhadap sistem pendidikan saat itu yang masih berbasis hafalan. Padahal menurutnya, menghafal adalah tingkatan terendah dari kemampuan berpikir.
Ia lalu membuat hierarki kemampuan berpikir yang disebut Taksonomi Bloom. Tiga struktur terbawah yakni menghafal, memahami, dan mengaplikasikan termasuk dalam kategori Lower-Order Thinking Skills. Berdasar survei PISA, kemampuan siswa di Indonesia masih berada di kategori ini. Tiga level selanjutnya adalah analisis, evaluasi, dan penciptaan.
Semakin tinggi strukturnya maka kemampuan siswa ditantang ke level yang lebih sulit. Setiap tahap dirancang Bloom untuk merangsang pola pikir tingkat tinggi. Tujuannya guna menghasilkan siswa berdaya analisis, kritis, cakap memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi.
Singapura sebagai negara yang pernah berada di urutan pertama survei PISA—sekarang kedua—sudah mengaplikasikan sistem ini pada pendidikannya. Saat pelajaran berhitung dan sains, kurikulum pendidikan Singapura memberi pemahaman konsep. Anak-anak dibuat memahami hasil perhitungan dan reaksi kejadian dengan contoh kasus, bukan menghafal rumus seperti Indonesia.
Seperti dilansir dari Antara, pada tingkat sekolah dasar, Kementerian Pendidikan Singapura hanya memastikan siswa menguasai bahasa Inggris, bahasa ibu (Melayu, Mandarin, Tamil), dan matematika. Di level siswa kelas menengah baru kurikulumnya bertambah dengan sains, sastra, sejarah, geografi, seni, desain, teknologi, dan ekonomi. Sistem pendidikan mereka juga mengidentifikasi dan memberi kesempatan anak belajar sesuai dengan bakatnya.
“Anak kelas satu hanya dikenalkan huruf dan angka, bukan memaksa mereka bisa menghitung dan membaca,” ujar Poon Chew Leng dari Kementerian Pendidikan Singapura.
Sementara China sebagai negara teratas di perolehan skor PISA 2018 hanya fokus mengajarkan bahasa mandarin dan matematika di tingkat sekolah dasar. Para siswa menghabiskan 60 persen waktunya di sekolah untuk memahami mata pelajaran yang disebut "The Big Two" tersebut. Selebihnya mereka belajar musik, seni, moral, serta interaksi sosial antara manusia dan alam.
Indonesia perlu merombak total sistem pendidikannya jika ingin kualitas pendidikannya sejajar dengan negara-negara tersebut. Bukan malah mengadopsi HOTS secara instan dan serampangan hanya saat ujian nasional.
Kabarnya Mendikbud Nadiem Makarim akan menghapuskan Ujian Nasional pada 2021 nanti dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Jika dilihat dari konteksnya, asesmen ini mirip dengan Taksonomi Bloom yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.
Materi ujian nasional selama ini terlampau padat, sehingga untuk mengejar kelulusan biasanya siswa mengikuti berbagai pelajaran tambahan. Alhasil mereka jadi lebih fokus menghafal ketimbang mengasah kompetensi. Jika terealisasi tepat waktu, maka hasil kebijakan Nadiem akan diuji dalam survei PISA 2024 nanti.